Secangkir
Teh
Karya
Muhammad Adhitya Novendra
“Assalamualaikum”
, aku memasuki rumah tua yang dimana orang tuaku dan saudaranya besar disana
dan dimana sebagian dari hidupku berada disana. “Walaikumsalam” kakekku
menjawab salamku dengan senyumannya yang indah pada wajahnya dan dengan tubuh
yang tergopoh-gopoh menuju kearah ku untuk memeluk cucunya yang jelek ini .
“Dari mana dit ? “ kakekku bertanya ,
“dari rumah kek “ jawab ku . walau sudah seminggu aku tidak bertemu dengannya
rasanya sudah setahun tak jumpa, aku segera menujunya untuk memeluknya.
Waktu ashar pun
masuk , terdengar suara adzan yang teramat jelas ditelingaku, bagaimana tidak
di rumah tua ini mushola hanya berjarak 8 meter dari rumah, dia segera bergegas
untuk menjalani kewajibannya. Usai sholat entah ada angin apa kakek mengajakku
mengobrol di sore begini , jarang-jarang kakek mengajaku mengobrol biasanya jam
segini waktunya dia mengaji atau bersih-bersih di mushola. Duduklah kami di
teras depan antara cucu dan kakeknya dan ditemani dengan secangkir teh hangat .
Sambil meminum tehnya dia menatap kearah ku seperti melihat setan di sore hari
dan dia mulai berbicara , dai bertanya kepadaku “apakah kau tahu sudah berapa
dosa yang telah kau perbuat ?”, aku kebingnungan mendengar pertanyaanya,
jawabku “nggak tau kek” dia bertanya lagi
“apakah kau tahu kapan orang terdekatmu atau kamu akan dicabut
nyawanya?” hening seketika aku tercengang bagai disambar petir di siang bolong,
dia masih menatapku dengan serius, sambil mencairkan suasana aku menjawab “mana
Adit tau kek , emangnya Adit tuhan ?” sambil tersenyum kaku, “itulah rahasia
Allah semuanya nggak ada yang tahu termasuk kakek, jadi intinya kita harus
selalu ingat kepada Allah SWT setiap saat”, pesan kakek terhadapku dengan nada
yang mulai santai “dan jangan sekali-kali kau tinggalkan ibadahmu dan kau
lupakan tuhan mu “, hari sudah mulai maghrib aku segera pulang dengan orang
tuaku tapi aku masih dihantui oleh kata-kata
dan tingkah laku kakek sore tadi “ya sudahlah “ .
Hari berganti
hari , biasanya setiap malam minggu keluargaku rutin kerumah kakek, tapi
akhir-akhir ini kami jarang kesana, rasanya ingin sekali menemui kakek tapi apa
daya saat itu aku masih anak muda yang berusia 14 tahun dan tak dapat izin
untuk mengendarai motor. Karena rindu sekali aku hanya bisa menelponnya saja ,
tapi kata kakak sepupu ku yang tinggal dirumah kakek , kakek sedang asik
menonton tv dan tidak mau diganggu apa boleh buat aku hanya mengirim salam
lewat kakakku malam itu ,tetapi rasanya ingin sekali aku mendengar suaranya
walau tak bertemu sapa.
Tepat pukul 02:00 wib aku tebangun mendengar
suara telpon, “kirng-kring kring-kring “ ,kakakku yang mengangkatnya tak lama
kakakku segera memberitahu ke ibuku kalau kakek masuk rumah sakit ,awalnya
ayahku enggan pergi kerumah sakit jam segitu tapi karena desakan ibu dan aku
akhirnya kami langsung menuju kerumah sakit .Di perjalanan perasaan ku
berdebar-debar entah apa yang akan terjadi nanti , mulutku komat-kamit
mendoakkan aku dan keluargaku selamat sampai tujuan dan kakekku tidak
kenapa-napa , karena ayahku seperti orang lagi kesurupan mengendarai mobilnya.
Setiba di rumah sakit aku segera ke ruang ICU , dari kejauhan aku meliahat
Ajo,Uni dan Makdang keluar dari ICU dengan mata sembab “kakek kenapa jo ?”
tanyaku dengan nafas terengah-engah , tak satu pun dari mereka yang menjawab
pertanyaan ku itu , sekektika hening hanya suara jangkrik di dini hari yang
terdengar , tak tega melihat ku kakak sepupuku memelukku aku mananyainya dengan
heran “kakek kenapa ni ?” teriakku , dia menjawab dengan meneteskan air matanya
ke baju ku “kakek udah nggak ada dit“ , seketika kakiku terasa lemes susah
untuk digerakan, saat itu aku tidak menangis hanya saja rasanya itu aneh
seperti ada yang hilang seketika dari kehidupan ku, bergegas aku berlari menuju
ICU, sesampai di ICU aku melihat suster sedang melepaskan impus dari tangan pria
yang terbaring pucat keriput di seluruh tubuhnya dan malaikat Izra’il yang baru
saja menemuinya dan pergi membawanya menjauh dari ku dan jasadnya. Aku memeluk
tubuh dinginnya itu yang sudah tak bernyawa, aku meminta maaf kepadanya walau
telat tapi aku yakin tuhan medengarkan permintaan maafku walau aku tidak tau
apakah kakek mendengarkannya. Seketika aku teringat kapan terakhirkalinya aku
benbicara bertemu dan berdiskusi dengannya dan ditemani dengat secangkir teh
kesukaannya aku teringat dengan kata-kata itu , kata-kata itulah yang ku ingat
sampai sekarang .